MAKALAH MEDIASI DALAM HUKUM SYARIAH
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Alquran adalah kalamullah[1] yang
disampaikan Jibril kepada nabi Muhammad untuk dijadikan pedoman bagi kehidupan
manusia. Alquran memuat sejumlah pesan moral dan aturan yang mengatur perilaku
manusia agar ia dapat hidup sesuai dengan penciptaannya yang fitri dan asali.
Panduan dan bimbingan yang dibawa Alquran mencakup seluruh kepentingan dan
kebutuhan manusia dalam kehidupannya. Alquran memberikan petunjuk yang harus
diikuti manusia agar ia dapat hidup selamat di dunia dan di akhirat. Bimbingan
dan petunjuk Alquran terintegrasi dalam hubungan manusia dengan Allah dan
hbungan manusia dengan sessamanya (hablumminallah wa hablum minannas).
B. Rumusan Masalah
Bagaimana hukum mediasi dalam syari’at Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
MEDIASI DALAM HUKUM SYARI’AH ( dalam syari’at
Islam )
A. Prinsip-prinsip
Mediasi Dalam Alquran
Alquran mengakui konflik dan persengketaan
dikalangan manusia sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupannya.
Keterlibatan manusia dengan konflik sudah diinformasikan Alquran jauh sebelum
diciptakannya manusia. Alquran menggambarkan dengan jelas bagaimana keinginan
Allah menjadikan manusia sebagai khalifah-Nya di bumi, mendapat tantangan dari
malaikat. Malaikat khawatir dengan keberadaan manusia sebagai khalifatullah
fil ardh, karena manusia cenderung melakukan kerusakan dan pertumpahan
darah di muka bumi. Malaikat mempertanyakan kenapa Allah yang menjadikan
manusia sebagai khalifah, dan “bukankah kami yang selalu mengabdi dan
menyucikan dirimu.”
Dialog malaikat dengan Allah dilukiskan
Alquran dalam surat Al-Baqarah ayat 30:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي
جَاعِلٌ فِي الأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُواْ أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا
وَيَسْفِكُ الدِّمَاء وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ
إِنِّي أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُونَ ﴿٣٠﴾
Artinya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman
kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah
di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan
(khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa
yang tidak kamu ketahui".
Ayat ini menggambarkan bahwa manusia memang
memiliki kecenderungan berkonflik dan melakukan tindak kekerasan. Keinginan (nafsu)
yang tidak terkendali dapat mengantarkan manusia pada situasi konflik dan
kekerasan. Konflik dan kekerasan tidak hanya terjadi antar individu, keluarga,
masyarakat dan bahkan antar negara. Faktor fundamental penyebab terjadinya
konflik dan kekerasan pada manusia adalah tidak terpenuhinya kepentingan
sebagaimana yang diinginkan. Kepentingan tersebut dapat berupa kepentingan
politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lain-lain. Pada sisi lain, sikap ego (amaniah)
juga turut mendorong manusia berkonflik dan melakukan tindak kekerasan
dalam mewujudkan kepentingannya. Di sinilah peran wahyu Alquran membimbing
manusia mengendalikan ego, menggunakan akal budi, berpikir rasional, dan
menghargai keragaman manusia sebagai makhluk Tuhan. Alquran menyebutkan bahwa
manusia yang mampu mengendalikan ego dirinya adalah manusia yang memiliki jiwa
tenang (nafs al-muthma ‘inna).[2]
Kasus Habil dan Qabil yang dilikiskan Alquran
merupakan bukti sejarah kekerasan dan pertumpahan darah pertama dilakukan
manusia di bumi. Nabi Adam AS memiliki 4 orang anak yang terdiri atas dua
laki-laki dan dua perempuan, yaitu Habil, Qabil, Lubuda dan Iklima. Habil memiliki
kembaran perempuan yaitu Lubuda dan Qabil memiliki kembaran perempuan pula
yaitu Iklima. Nabi Adam AS menikahkan anaknya atas dasar perintah Allah secara
selang yaitu Qabil dinikahkan dengan Lubuda dan Habil dinikahkan dengan Iklima.
Pernikahan ini diterima oleh anak-anak
Nabi Adam AS kecuali Qabil, karena ia tidak bersedia nikah dengan Lubuda,
karena parasnya yang jelek. Qabil hanya bersedia nikah dengan kembarannya yaitu
Iklima. Nabi Adam AS telah melakukan negosiasi dan fasilitasi terhadap kasus ini,
namun tidak mencapai kesepakatan, dan akhirnya Qabil membunuh Habil. Peristiwa
ini merupakan bukti sejarah manusia melakukan konflik, kekerasan dan bahkan
pertumpahan darah. Prediksi malaikat bahwa manusia cenderung melakukan
kerusakan dan pertumpahan darah terbukti pertama-tama dalam kasus Habil dan
Qabiln ini.
Ayat Alquran diatas menunjukkan bahwa manusia
adalah pelaku utama konflik dan manusia pula yang akan menyelesaikan konflik.
Manusia melalui akal dan panduan Alquran dapat menggali, menyusun strategi
resolusi konflik dan penyelesaian sengketa, karena Alquran memuat sejumlah
prinsip resolusi konflik. Nabi Muhammad SAW dalam perjalanan sejarahnya cukup
banyak menyelesaikan konflik yang terjadi di kalangan sahabat dan masyarakat
ketika itu. Prinsip resolusi konflik yang dimiliki alquran diwujudkan oleh Nabi
Muhammad SAW dalam berbagai bantuk berupa fasilitasi, negosiasi, adjudikasi,
rekonsiliasi, mediasi, arbitrase dan penyelesaian sengketa melalui lembaga
peradilan (litigasi). Prinsip resolusi konflik dan penyelesaian sengketa
ditemukan dalam sejumlah ayat Alquran dan Hadits Nabi Muhammad SAW.
Mohammed Abu Nimer merumuskan 12 prinsip
penyelesaian sengketa (konflik) yang dibangun Alquran dan dipraktikkan Nabi
Muhammad.[3]
Prinsip-prinsip tersebut adalah:
1. Perwujudan
Keadilan
Keadilan adalah salah satu tema pokok ajaran
Islam. Islam elah memberikan kedudukan yang adil antar-orang yang kuat
dengan orang lemah. Muslim berkewajiban menegakkan keadilan, dan harus menolak
ketidakadilan baik terhadap personal maupun struktural. Dalam Alquran surat
An-Nahl ayat 90, Allah menyatakan:
إِنَّ اللّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ
وَإِيتَاء ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاء وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ
يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ ﴿٩٠﴾
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu)
berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah
melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi
pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.
Dalam Islam, keadilan Tuhan berkaitan dengan
wahyu dan kebijaksanaannya yang dibawa Nabi Muhammad SAW. keadilan yang
berdasarkan wahyu Tuhan dapat diterapkan pada setiap orang dan setiap tempat.
2. Pemberdayaan
Sosial
Konsep pemberdayaan sosial dalam Islam
ditemukan dalam ajaran ihsan dan khair (berbuat baik). Dua ajaran
itu telah diterapkan dalam sejarah oleh Nabi Muhammad SAW dan sahabatnya. Islam
tumbuh dan berkembang dengan cepat ke seluruh Jazirah Arab, karena menerapkan
dua ajaran ini. Esensi ajaran ihsan dan khair adalah pemberdayaan
kaum lemah, proteksi kaum miskin, dan kewajiban individual memangku tanggung
jawab sosial. Perjuangan melawan kezaliman, membantu orang tak berdaya (fakir)
dan meyakinkan persamaan antara semua manusia adalah nilai utama ajaran
Alquran dan Hadits.
Perbuatan baik (ihsan) bukan hanya
dalam hubungan orang tua dan anak sebagaimana disebutkan Alquran dalam surat
Al-Isra’ ayat 24:
وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ
الرَّحْمَةِ وَقُل رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيراً ﴿٢٤﴾
Artinya: Dan rendahkanlah dirimu terhadap
mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku,
kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu
kecil".
Tetapi juga perbuatan menyayangi anak yatim,
membantu fakir miskin, serta menolong orang-orang yang melarat. Demikian pula
halnya dengan perbuatan baik (khair), tidak mesti tergantung pada
kekuasaan untuk mewujudkannya, tetapi semua perbuatan yang mengarah pada jalan
yang benar (shirat al-mustaqim).
وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى
الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ
وَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ ﴿١٠٤﴾
Artinya: Dan hendaklah ada di antara kamu
segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan
mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.
3. Universalitas
dan Martabat Kemanusiaan
Universalitas kemanusiaan adalah ajaran
sentral dalam Islam, yang digali dari Alquran dan Hadits Nabi Muhammad SAW.
islam memandang manusia memiliki kedudukan yang sama dalam asal usulnya.
Manusia dihormati karena memiliki kelebihan, martabat, dan kemuliaan dalam
proses penciptaannya. Manusia memiliki potensi pengetahuan dan moral. Semua
manusia dibekali pengetahuan dari Tuhan, dan Alquran menunjukkan jalan kepada manusia
agar mengingat asal ushul mereka dalam hubungannya dengan Tuhan. Manusia adalah
khalifah Tuhan di bumi sebagaimana disebutkan Allah:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي
جَاعِلٌ فِي الأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُواْ أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا
وَيَسْفِكُ الدِّمَاء وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ
إِنِّي أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُونَ ﴿٣٠﴾
Artinya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman
kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah
di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan
(khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa
yang tidak kamu ketahui".
4. Prinsip
Kesamaan (Equality)
Islam mengajarkan bahwa penyelesaian sengketa
dapat dilakukan dengan singkat, bila diletakkan pada paradigma bahwa
manusia berada dalam satu kesatuan, seperti satu keluarga yang memperlakukan
sama setiap anggota keluarga. Ini adalah suatu ajaran bahwa asal usul manusia
adalah sama.
Islam tidak memandang kemuliaan dan
keistimewaan seseorang pada ras, etnis, atau kata suku, tetapi Islam memiliki
dua kriteria yang membuat orang memiliki kemuliaan yaitu keimanan dan amal
sholeh.
5. Melindungi
Kehidupan Manusia
Islam mengajarkan bahwa kehidupan manusia
adalah bernilai yang mesti dijaga dan dilindungi. Seluruh sumber daya mesti
digunakan untuk melindungi kehidupan manusia dan mencegah kekerasan. Alquran
menegaskan dalam surat Al-Maidah ayat 32, surat Al-Isra’ ayat 33, dan surat Al-Anbiya’
ayat 16:
مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ كَتَبْنَا عَلَى بَنِي
إِسْرَائِيلَ أَنَّهُ مَن قَتَلَ نَفْساً بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي
الأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعاً وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا
أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعاً وَلَقَدْ جَاءتْهُمْ رُسُلُنَا بِالبَيِّنَاتِ ثُمَّ
إِنَّ كَثِيراً مِّنْهُم بَعْدَ ذَلِكَ فِي الأَرْضِ لَمُسْرِفُونَ ﴿٣٢﴾
Artinya:Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu
hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia,
bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat
kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya.
Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia
telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang
kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang
jelas, kemudian banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui
batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi.
وَلاَ تَقْتُلُواْ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ
اللّهُ إِلاَّ بِالحَقِّ وَمَن قُتِلَ مَظْلُوماً فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ
سُلْطَاناً فَلاَ يُسْرِف فِّي الْقَتْلِ إِنَّهُ كَانَ مَنْصُوراً ﴿٣٣﴾
Artinya: Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang
diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan
barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi
kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas
dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.
وَمَا خَلَقْنَا السَّمَاء وَالْأَرْضَ وَمَا
بَيْنَهُمَا لَاعِبِينَ ﴿١٦﴾
Artinya: Maka tatkala mereka merasakan azab
Kami, tiba-tiba mereka melarikan diri dari negerinya.
6. Perwujudan
Damai
Pada umunya, komunikasi merupakan hal penting
dalam penyelesaian sengketa. Komunikasi secara langsung antara para pihak akan
lebih produktif menyelesaikan sengketa, sehingga dapat menghindari kekerasandan
merendahkan biaya. Pihak ketiga merupakan bagian integral dalam intervensi
membangun damai dengan memfasilitasi komunikasi, menghindari tensi, dan
membantu memperbaiki hubungan seilaturahmi. Islam mendorong intervensi aktif,
khususnya diantara sesama muslim.
Allah berfirman dalam surat Al-Hujurat ayat
9-10:
وَإِن طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِن بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى
فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِن فَاءتْ
فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ
الْمُقْسِطِينَ ﴿٩﴾ إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ
أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ ﴿١٠﴾
Artinya: Dan jika ada dua golongan dari
orang-orang mu'min berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu
dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka
perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali
kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah),
maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.
Artinya: Sesungguhnya orang-orang mu'min
adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah
kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.
7. Pengetahuan dan
Kekuatan Logika
Kemampuan akal dan rasionalitas memiliki peran
menentukan bagi sukses tidaknya dialog penyelesaian konflik. Dalam resolusi
konflik, pendekatan rasional akan mempercepat, lahirnya kesepakatan damai,
sehingga dapat menghindari timbulnya kekerasan. Akal dan kebijaksanaan (hikmah)
merupakan dua nilai kebajikan dalam Islam, yang serig diulang penyebutannya
dalam Alquran dan Hadits.
Allah berfirman dalam surat An-Nahl ayat 125:
ادْعُ إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ
وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ
هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ ﴿١٢٥﴾
Artinya: Serulah (manusia) kepada jalan
Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara
yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang
tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk.
8. Kreatif dan
Inovatif
Strategi non-kekerasan mendorong kreativitas
dan inovasi dalam penyelesaian konflik. Kreativitas dan inovasi dapat
melahirkan pilihan-pilihan baru yang membantu mencapai kompromi dengan rasa
keadilan. Inovasi dapat lahir dari suatu proses berfikir yang dikenal dengan
ijtihad. Ijtihad bukan hanya milik ulama, tetapi juga milik setiap muslim yang
memiliki kemampuan menyelesaikan konflik di kalangan mereka.
9. Saling
Memaafkan
Memberi maaf adalah perbuatan yang sangat
dihargai dalam Islam, karena maaf dapat menyadarkan orang akan kekeliruannya.
Allah berfirman dalam surat Asy-Syura’ ayat
40:
وَجَزَاء سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِّثْلُهَا فَمَنْ
عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ
﴿٤٠﴾
Artinya: Dan balasan suatu kejahatan adalah
kejahatan yang serupa, maka barangsiapa mema`afkan dan berbuat baik maka
pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang
yang zalim.
10. Tindakan Nyata
Dalam Islam tindakan nyata berupa amal baik
sangat dihargai, karena mengungkapkan saja tanpa melaksanakan tidak cukup.
Tuhan memberikan kasih sayang kepada orang yang beriman dan berbuat baik.
Allah berfirman dalam surat Maryam ayat 96,
dan surat Al-Isra’ ayat 7
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا
الصَّالِحَاتِ سَيَجْعَلُ لَهُمُ الرَّحْمَنُ وُدّاً ﴿٩٦﴾
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang beriman
dan beramal saleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati)
mereka rasa kasih sayang.
إِنْ أَحْسَنتُمْ أَحْسَنتُمْ لِأَنفُسِكُمْ
وَإِنْ أَسَأْتُمْ فَلَهَا فَإِذَا جَاء وَعْدُ الآخِرَةِ لِيَسُوؤُواْ
وُجُوهَكُمْ وَلِيَدْخُلُواْ الْمَسْجِدَ كَمَا دَخَلُوهُ أَوَّلَ مَرَّةٍ
وَلِيُتَبِّرُواْ مَا عَلَوْاْ تَتْبِيراً ﴿٧﴾
Artinya: Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu
berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat maka kejahatan itu
bagi dirimu sendiri, dan apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) yang
kedua, (Kami datangkan orang-orang lain) untuk menyuramkan muka-muka kamu dan
mereka masuk ke dalam mesjid, sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada kali
pertama dan untuk membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai.
11. Pelibatan
Melalui Tanggung Jawab Individu
Pilihan moral dan keyakinan rasional merupakan
prinsip Islam, karena setiap orang bertanggung jawab terhadap segala
tindakannya. Bahkan Nabi Muhammad SAW sendiri tidak akan bertanggung jawab
terhadap keputusan yang dibuat oleh orang lain.
Allah berfirman dalam surat At-Taubah ayat
129:
فَإِن تَوَلَّوْاْ فَقُلْ حَسْبِيَ اللّهُ لا
إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ
﴿١٢٩﴾
Artinya: Jika mereka berpaling (dari
keimanan), maka katakanlah: "Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain
Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan Dia adalah Tuhan yang memiliki `Arsy
yang agung".
12. Sikap Sabar
Muslim didorong untuk bersikap sabar dengan
menangguhkan atau menunda pendapat mereka dari yang lain, baik kepada orang
muslim maupun sesama non muslim. Sabar adalah suatu kebaikan yang mesti
dipertahankan orang Islam. Sabar ikut memelihara keyakinan kuat pada Tuhan.
Kata sabar memiliki implikasi makna, antara lain: (1) sabar melakukan pekerjaan
cermat, teliti, dan tidak terburu-buru; (2) sabar dari ketekunan, keteguhan
hati, tabah dalam berusaha dalam mencapai tujuan; (3) sistematik dan tabah
dalam menentang ketidakteraturan atau mengubah tindakan; dan (4) perilaku
periang ketika mengalami penderitaan.[4]
B. Pola Mediasi Dalam
Alquran
Keadilan dalam masyarakat akan tegak bila
orang mendapatkan hak sesuai dengan ajaran Alquran dan Hadits Nabi Muhammad
SAW. Sebaliknya, masyarakat akan hancur dan zalim bila keadilan tidak
ditegakkan dan orang memperoleh hak, bukan berdasrkan ketentuan yang sah dan
benar. Kezaliman, ketidakadilan dan perampasan hak, merupakan faktor dominan
yang menyebabkan hancurnya suatu masyarakat. Oleh karena itu, Alquran mengajak
setiap muslim untuk menegakkan keadilan. Keadilan adalah ajaran dasar dalam
Islam, dan kehadiran Nabi Muhammad SAW membawa misi menegakkan keadilan.
Alquran mengajarkan bahwa menegakkan keadilan merupakan perintah Allah, dan
harus dilakukan oleh setiap muslim, karena ia lebih dekat kepada taqwa.
Sebaliknya, orang yang tidak menagakkan keadilan dan menyia-nyiakan hak orang
lain akan mendapatkan siksa dari Allah.
Alquran dan Hadits Nabi Muhammad SAW
menawarkan proses penyelesaian sengketa di pengadilan melalui dua cara, yaitu
pembuktian fakta hukum (adjudikasi), dan penyelesaian melalui perdamaian
(islah).
Penyelesaian sengketa melalui proses
pembuktian fakta hukum (adjudikasi) dilakukan dengan pengajuan sejumlah
alat bukti oleh para pihak dalam menuntut atau mempertahankan haknya dihadapan
pengadilan.[5]
Dalam konteks ini Nabi Muhammad SAW menyatakan:
“alat bukti dibebankan kepada penggugat, sedangkan sumpah kepada pihak yang
mengingkari.” Pengajuan alat-alat bukti ini dimaksudkan untuk membuktikan
siapa yang berhak dan berwenang terhadap sesuatu dan siapa yang tidak berwenang
atau tidak berhak terhadap sesuatu. Melalui akan terungkap dengan jelas duduk
perkara dan pihak mana yang mendapat hak sesuai dengan hukum Allah. Bukti
adalah standar ukur (norma) bagi hakim dalam memutuskan perkara.[6]
Proses penyelesaian sengketa melalui adjudikasi
ternyata tidak mampu menyelami hakikat fakta sebenarnya dari persengketaan
para pihak, karena hakim hanya mampu memahami dan memutuskan perkara sebatas
alat bukti kuat yang diajukan kepadanya. Atas dasar keyakinan hakim dan
bukti-bukti yang ada, maka ia merumuskan hukum tersebut, padahal hakikatnya
yang paling tahu adalah para pihak yang bersengketa.
Kenyataan ini disebutkan oleh Nabi Muhammad
SAW: “Sesungguhnya aku seorang manusia dan kamu datang mengadu pertikaian
kamu kepada ku. Boleh jadi diantara kamu ada yang lebih pantas/pintar
menguraikan hujah daripada yang lain, maka aku memutuskan hukuman sebagaimana
yang aku dengar dari keterangan yang kamu berikan. Maka siapa saja yang aku
hukum baginya sesuatu dari hak (orang lain), maka janganlah ia mengambilnya
karena sesungguhnya aku memberikan kepadanya sepotong api neraka.
Hadits Nabi Muhammad SAW ini mengindikasikan
dua hal, pertama, hakim menyelesaikan sengketa berdasarkan apa yang
didengar, dilihat dan ia ketahui dari alat bukti yang diajukan ke pengadilan.
Boleh jadi pihak yang pintar dan pandai berhujah, telah meyakinkan hakim untuk
memberikan hak kepadanya, walaupun hakikatnya ia tidak berhak. Kedua,
alat bukti tidak menjamin seluruhnya mampu mengungkap fakta-fakta hukum, karena
dalam proses pengadilan terdapat pula alat-alat bukti palsu yang diajukan oleh
para pihak yang bersengketa. Proses penyelesaian sengketa melalui adjudikasi
tidak dapat menjamin kepuasan para pihak yang bersengketa, karena ada pihak
yang memiliki keterbatasan dalam pengajuan alat bukti. Oleh karenanya, sejumlah
ayat Alquran menawarkan proses penyelesaian sengketa melalui perdamaian (islah-sulh).
di hadapan Mahkamah.
Keberadaan sulh sebagai upaya damai
dalam penyelesaian sengketa telah diterangkan dalam Alquran dan Hadits
Rasulullah SAW:
Allah berfirman dalam surat An-Nisa’ ayat 114
dan ayat 128:
لاَّ خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِّن نَّجْوَاهُمْ
إِلاَّ مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلاَحٍ بَيْنَ النَّاسِ
وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ ابْتَغَاء مَرْضَاتِ اللّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْراً
عَظِيماً ﴿١١٤﴾
Artinya: Tidak ada kebaikan pada kebanyakan
bisikan bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh
(manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma`ruf, atau mengadakan perdamaian di
antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keredhaan
Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.
وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِن بَعْلِهَا
نُشُوزاً أَوْ إِعْرَاضاً فَلاَ جُنَاْحَ عَلَيْهِمَا أَن يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا
صُلْحاً وَالصُّلْحُ خَيْرٌ وَأُحْضِرَتِ الأَنفُسُ الشُّحَّ وَإِن تُحْسِنُواْ
وَتَتَّقُواْ فَإِنَّ اللّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيراً ﴿١٢٨﴾
Artinya: Dan jika seorang wanita khawatir akan
nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya
mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik
(bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir, Dan jika kamu
bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan
sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.
Hal senada juga dijelaskan Nabi Muhammad SAW: Sulh
adalah sesuatu yang harus ada di antara kaum muslimin, kecuali suatu perdamaian
yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal, dan kaum muslimin
terikat dengan janji mereka, kecuali janji yang mengharamkan yang halal dan
menghalalkan yang haram (At-Tirmizi).[7]
C. Praktik Mediasi
Rasulullah SAW
Pembahasan pada subbab ini dipusatkan pada
praktik mediasi yang pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW., baik sebelum ia
mejadi Rasul maupun sesudah menjadi Rasul.
Proses penyelesaian konflik (sengketa) dapat ditemukan dalam peristiwa
peletakan kembali Hajar Aswad (batu hitam pada sisi Ka’bah) dan Perjanjian
Hudaibiyah. Kedua peristiwa ini dikenal baik oleh kaum muslimin di seluruh
dunia, karena itu diterima secara umum. Peletakan kembali Hajar Aswad dan
Perjanjian Hudaibiyah memiliki nilai dan strategi resolusi konflik (sengketa)
terutama mediasi dan negosiasi, sehingga kedua peristiwa ini memiliki
perspektif yang sama yaitu mewujudkan perdamaian.[8]
D. Mediasi Dalam
Sengketa Keluarga
Didalam Islam, Alquran mengharuskan adanya
proses peradilan maupun nonperadilan dalam penyelesaian sengketa keluarga, baik
untuk kasus syiqaq maupun nusyuz.[9]
Syiqaq adalah percekcokan atau perselisihan yang meruncing anntara suami istri
yang diselesaikan oleh dua orang juru damai (hakam). Nusyuz adalah tindakan
istri yang tidak \patuh kepada suaminya atau suami yang tidak menjalankan hak
dan kewajibannya terhadap istri dan rumah tangganya, baik yang bersifat lahir
maupun bathin. Alquran menawarkan pola mediasi tersendiri terhadap penyelesaian
sengketa keluarga terutama syiqaq.
Syiqaq merupakan perselisihan yang berawal dan
terjadi pada kedua belah pihak suami dan isteri secara bersama-sama. Dengan
demikian, syiqaq berbeda dengan nusyuz, yang perselisihannya hanya berawal dan
terjadi pada salah satupihak, suami atau istri. Untuk mengatasi kerumut rumah
tangga yang meruncing antara suami dan istri, Islam memerintahkan agar kedua
belah pihak mengutus dua orang hakam (juru damai). Pengutusan hakam bermaksud
untuk berusaha mencari jalan keluar tehadap kemelut rumah tangga yang dihadapi
oleh suami-istri. Proses penyelesain sengketa melalui pihak ketiga yang dikenal
dengan hakam didasarkan pada Alquran surat An-Nisa’ ayat 35:
وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا
فَابْعَثُواْ حَكَماً مِّنْ أَهْلِهِ وَحَكَماً مِّنْ أَهْلِهَا إِن يُرِيدَا
إِصْلاَحاً يُوَفِّقِ اللّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلِيماً خَبِيراً
﴿٣٥﴾
Artinya: Dan jika kamu khawatirkan ada
persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga
laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu
bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri
itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
E. Mediasi dalam
Sengketa Waris
Abdul Rahim dalam bukunya The Principles of
Muhammadan Jurisprudence, menyebutkan bahwa penyebab utama terjadinya
sengketa waris adalah situasi di mana ahli waris tidak secara cepat
menyelesaikan masalah harta warisan setelah pewaris meninggal dunia. Situasi
yang berlarut-larut telah menyebabkan pihak-pihak yang menguasai harta atau
mendominasi pemanfaatan harta warisan, dapat melakukan tindakan tasharruf (jual
beli, hibah, sewa, gadai, dan lain-lain) terhadap harta warisan. Tindakan
sepihak oleh salah satu ahli waris tanpa ada persetujuan ahli waris lain telah menyebabkan munculnya sengketa waris.
Oleh karenanya, Islam menganjurkan setelah seseorang meninggal dunia, maka
segeralah menyelesaikan persoalan pembagian harta warisan, karena harta yang
ditinggalkan si mayit dapat menjadi penyebab konflik dalam keluarga, bila tidak
diselesaikan dengan baik.
Anjuran Islam untuk mempercepat penyelesaian
dan pembagian harta warisan, bukan berarti para ahli waris secar serta merta
membagi harta tersebut berdasarkan ketentuan furudh al-muqaddarah,
tetapi yang diinginkan Islam adalah penyelesaian dan kejelasan hak masing-masing
ahli waris terhadap harta warisan. Jelasnya hak masing-masing ahli waris dapat
mempermudah ahli waris untuk menyelesaikan pembagian harta warisan, baik
mengikuti ketentuan furudh al-muqaddarah atau alternatif lain berupa
kesepakatan damai ahli waris. Pembagian warisan dapat saja mengikuti ketentuan furudh
al-muqaddarah atau bahkan membuat kesepakatan lain di luar ketentuan furudh
al-muqaddarah (bagian-bagian tertentu ahli waris yang telah ditetapkan
Alquran).
F. Mediasi dalam
Sengketa Muamalah
Dalam hukum Islam, upaya perdamaian yang
dilakukan oleh para pihak untuk menyelesaikan sengketa muamalah dikenal dengan sulh.
Sulh sebagai sarana pewujudan perdamaian dapat diupaya oleh pihak yang
bersengketa atau dari pihak ketiga yang berusaha membantu para pihak
menyelesaikan sengketa mereka. Keterlibatan pihak ketiga dapat bertindak
sebagai madiator atau fasilitator dalam proses sulh. Penerapan sulh
dalam hukum Islam, sebenarnya sangat luas, tidak hanya digunakan untuk menyelesaikan
sengketa yang berkait dengan harta (muamalah), tetapi dapat juga digunakan
unruk menyelesaikan sengketa keluarga dan politik.
G. Mediasi dalam
Konflik Politik
Dalam sejarah politik Islam, perbedaan
pandangan politik dapat diselesaikan melalui jalur mediasi, negosiasi atau
arbitrase (tahkim), tetapi kadang-kadang juga bada yang berakhir dengan
pergerakan senjata.
Mediasi dalam upaya penyelesaian sengketa
politik mendapat landasan dalam Alquran suarat Al-Hujurat ayat 9:
وَإِن طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِن بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى
فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِن فَاءتْ
فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ
الْمُقْسِطِينَ ﴿٩﴾
Artinya: Dan jika ada dua golongan dari
orang-orang mu'min berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu
dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka
perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali
kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah),
maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Mohammed Abu Nimer merumuskan 12 prinsip
penyelesaian sengketa (konflik) yang dibangun Alquran dan dipraktikkan Nabi
Muhammad.
1. Perwujudan Keadilan
2. Pemberdayaan Sosial
3. Universalitas dan Martabat Kemanusiaan
4. Prinsip Kesamaan (Equality)
5. Melindungi Kehidupan Manusia
6. Perwujudan Damai
7. Pengetahuan dan Kekuatan Logika
8. Kreatif dan Inovatif
9. Saling Memaafkan
10. Tindakan Nyata
11. Pelibatan Melalui Tanggung Jawab Individu
12. Sikap Sabar
Alquran dan Hadits Nabi Muhammad SAW
menawarkan proses penyelesaian sengketa di pengadilan melalui dua cara, yaitu
pembuktian fakta hukum (adjudikasi), dan penyelesaian melalui perdamaian
(islah).
Praktik mediasi yang pernah dilakukan oleh
Nabi Muhammad SAW., baik sebelum ia mejadi Rasul maupun sesudah menjadi
Rasul. Proses penyelesaian konflik (sengketa)
dapat ditemukan dalam peristiwa peletakan kembali Hajar Aswad (batu hitam pada
sisi Ka’bah) dan Perjanjian Hudaibiyah.
Untuk mengatasi kerumut rumah tangga yang
meruncing antara suami dan istri, Islam memerintahkan agar kedua belah pihak
mengutus dua orang hakam (juru damai).
Anjuran Islam untuk mempercepat penyelesaian
dan pembagian harta warisan, bukan berarti para ahli waris secar serta merta
membagi harta tersebut berdasarkan ketentuan furudh al-muqaddarah,
tetapi yang diinginkan Islam adalah penyelesaian dan kejelasan hak masing-masing
ahli waris terhadap harta warisan.
Dalam hukum Islam, upaya perdamaian yang
dilakukan oleh para pihak untuk menyelesaikan sengketa muamalah dikenal dengan sulh.
Dalam sejarah politik Islam, perbedaan
pandangan politik dapat diselesaikan melalui jalur mediasi, negosiasi atau
arbitrase (tahkim), tetapi kadang-kadang juga bada yang berakhir dengan
pergerakan senjata.
[1] Kalamullah adalah pernyataan Allah SWT. yang berisi kehendak-Nya dan
dilafalkan dalam bahasa Arab. Kalamullah ini bersifat suci yang mana
kehendak dan bahasa yang disampaikan Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. dalam
makna dan bahasa yang diterimanya dari Allah SWT.. Dari sisi bahasa dan makna, kalamullah
ini murni dari Allah SWT. dan tidak ada intervensi dan modifikasi dari
Jibril maupun Nabi Muhammad SAW..
[2] Abdul Aziz Said, Nathan C. Funk and Ayse S. Kadayifci, “ Islamic Approaches
to Peace Conflict Resolution, dalam Abdul Aziz Said, Nathan C. and Ayse S.
Kadayifci, Peace and Conflict Resolution in Islam, (New York: University
Press of America, 2007), hlm. 6.
[3] Mohammed Abu Nimer, Op. cit., hlm. 48-80.
[4] Badullah Ali Yusuf, The Meaning of the Holy Qur’an, (Brentwood:
Amana Corporation, 1991), hlm. 179.
[8] Hamadi Redissi dan Jan-Erik Lane, “Does Islam Provide a Theory of
Violence”, dalam Amelie Blom, Laetitia Bucaille dan Luiz Martinez, The
Enuigma of Islamist Violence, (New York: Columbia University Press, 2007),
hlm. 48.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar