Sabtu, 05 April 2014

HUKUM MEDIASI-MAKALAH MEDIASI DALAM HUKUM SYARIAH

MAKALAH MEDIASI DALAM HUKUM SYARIAH

BAB I
PENDAHULUAN
      A.    Latar Belakang
Alquran adalah kalamullah[1] yang disampaikan Jibril kepada nabi Muhammad untuk dijadikan pedoman bagi kehidupan manusia. Alquran memuat sejumlah pesan moral dan aturan yang mengatur perilaku manusia agar ia dapat hidup sesuai dengan penciptaannya yang fitri dan asali. Panduan dan bimbingan yang dibawa Alquran mencakup seluruh kepentingan dan kebutuhan manusia dalam kehidupannya. Alquran memberikan petunjuk yang harus diikuti manusia agar ia dapat hidup selamat di dunia dan di akhirat. Bimbingan dan petunjuk Alquran terintegrasi dalam hubungan manusia dengan Allah dan hbungan manusia dengan sessamanya (hablumminallah wa hablum minannas).
      B.     Rumusan Masalah
Bagaimana hukum mediasi dalam syari’at Islam?

BAB II
PEMBAHASAN

MEDIASI DALAM HUKUM SYARI’AH ( dalam syari’at Islam )

      A.    Prinsip-prinsip Mediasi Dalam Alquran
Alquran mengakui konflik dan persengketaan dikalangan manusia sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupannya. Keterlibatan manusia dengan konflik sudah diinformasikan Alquran jauh sebelum diciptakannya manusia. Alquran menggambarkan dengan jelas bagaimana keinginan Allah menjadikan manusia sebagai khalifah-Nya di bumi, mendapat tantangan dari malaikat. Malaikat khawatir dengan keberadaan manusia sebagai khalifatullah fil ardh, karena manusia cenderung melakukan kerusakan dan pertumpahan darah di muka bumi. Malaikat mempertanyakan kenapa Allah yang menjadikan manusia sebagai khalifah, dan “bukankah kami yang selalu mengabdi dan menyucikan dirimu.”
Dialog malaikat dengan Allah dilukiskan Alquran dalam surat Al-Baqarah ayat 30:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُواْ أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاء وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُونَ ﴿٣٠﴾
Artinya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".
Ayat ini menggambarkan bahwa manusia memang memiliki kecenderungan berkonflik dan melakukan tindak kekerasan. Keinginan (nafsu) yang tidak terkendali dapat mengantarkan manusia pada situasi konflik dan kekerasan. Konflik dan kekerasan tidak hanya terjadi antar individu, keluarga, masyarakat dan bahkan antar negara. Faktor fundamental penyebab terjadinya konflik dan kekerasan pada manusia adalah tidak terpenuhinya kepentingan sebagaimana yang diinginkan. Kepentingan tersebut dapat berupa kepentingan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lain-lain. Pada sisi lain, sikap ego (amaniah) juga turut mendorong manusia berkonflik dan melakukan tindak kekerasan dalam mewujudkan kepentingannya. Di sinilah peran wahyu Alquran membimbing manusia mengendalikan ego, menggunakan akal budi, berpikir rasional, dan menghargai keragaman manusia sebagai makhluk Tuhan. Alquran menyebutkan bahwa manusia yang mampu mengendalikan ego dirinya adalah manusia yang memiliki jiwa tenang (nafs al-muthma ‘inna).[2]
Kasus Habil dan Qabil yang dilikiskan Alquran merupakan bukti sejarah kekerasan dan pertumpahan darah pertama dilakukan manusia di bumi. Nabi Adam AS memiliki 4 orang anak yang terdiri atas dua laki-laki dan dua perempuan, yaitu Habil, Qabil, Lubuda dan Iklima. Habil memiliki kembaran perempuan yaitu Lubuda dan Qabil memiliki kembaran perempuan pula yaitu Iklima. Nabi Adam AS menikahkan anaknya atas dasar perintah Allah secara selang yaitu Qabil dinikahkan dengan Lubuda dan Habil dinikahkan dengan Iklima. Pernikahan ini diterima  oleh anak-anak Nabi Adam AS kecuali Qabil, karena ia tidak bersedia nikah dengan Lubuda, karena parasnya yang jelek. Qabil hanya bersedia nikah dengan kembarannya yaitu Iklima. Nabi Adam AS telah melakukan negosiasi dan fasilitasi terhadap kasus ini, namun tidak mencapai kesepakatan, dan akhirnya Qabil membunuh Habil. Peristiwa ini merupakan bukti sejarah manusia melakukan konflik, kekerasan dan bahkan pertumpahan darah. Prediksi malaikat bahwa manusia cenderung melakukan kerusakan dan pertumpahan darah terbukti pertama-tama dalam kasus Habil dan Qabiln ini.
Ayat Alquran diatas menunjukkan bahwa manusia adalah pelaku utama konflik dan manusia pula yang akan menyelesaikan konflik. Manusia melalui akal dan panduan Alquran dapat menggali, menyusun strategi resolusi konflik dan penyelesaian sengketa, karena Alquran memuat sejumlah prinsip resolusi konflik. Nabi Muhammad SAW dalam perjalanan sejarahnya cukup banyak menyelesaikan konflik yang terjadi di kalangan sahabat dan masyarakat ketika itu. Prinsip resolusi konflik yang dimiliki alquran diwujudkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam berbagai bantuk berupa fasilitasi, negosiasi, adjudikasi, rekonsiliasi, mediasi, arbitrase dan penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan (litigasi). Prinsip resolusi konflik dan penyelesaian sengketa ditemukan dalam sejumlah ayat Alquran dan Hadits Nabi Muhammad SAW.

Mohammed Abu Nimer merumuskan 12 prinsip penyelesaian sengketa (konflik) yang dibangun Alquran dan dipraktikkan Nabi Muhammad.[3] Prinsip-prinsip tersebut adalah:
      1.      Perwujudan Keadilan
Keadilan adalah salah satu tema pokok ajaran Islam. Islam elah memberikan kedudukan yang adil antar-orang yang kuat dengan orang lemah. Muslim berkewajiban menegakkan keadilan, dan harus menolak ketidakadilan baik terhadap personal maupun struktural. Dalam Alquran surat An-Nahl ayat 90, Allah menyatakan:
إِنَّ اللّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيتَاء ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاء وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ ﴿٩٠﴾
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.
Dalam Islam, keadilan Tuhan berkaitan dengan wahyu dan kebijaksanaannya yang dibawa Nabi Muhammad SAW. keadilan yang berdasarkan wahyu Tuhan dapat diterapkan pada setiap orang dan setiap tempat.
      2.      Pemberdayaan Sosial
Konsep pemberdayaan sosial dalam Islam ditemukan dalam ajaran ihsan dan khair (berbuat baik). Dua ajaran itu telah diterapkan dalam sejarah oleh Nabi Muhammad SAW dan sahabatnya. Islam tumbuh dan berkembang dengan cepat ke seluruh Jazirah Arab, karena menerapkan dua ajaran ini. Esensi ajaran ihsan dan khair adalah pemberdayaan kaum lemah, proteksi kaum miskin, dan kewajiban individual memangku tanggung jawab sosial. Perjuangan melawan kezaliman, membantu orang tak berdaya (fakir) dan meyakinkan persamaan antara semua manusia adalah nilai utama ajaran Alquran dan Hadits.



Perbuatan baik (ihsan) bukan hanya dalam hubungan orang tua dan anak sebagaimana disebutkan Alquran dalam surat Al-Isra’ ayat 24:
وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُل رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيراً ﴿٢٤﴾
Artinya: Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil".
Tetapi juga perbuatan menyayangi anak yatim, membantu fakir miskin, serta menolong orang-orang yang melarat. Demikian pula halnya dengan perbuatan baik (khair), tidak mesti tergantung pada kekuasaan untuk mewujudkannya, tetapi semua perbuatan yang mengarah pada jalan yang benar (shirat al-mustaqim).
وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ ﴿١٠٤﴾
Artinya: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.
     3.      Universalitas dan Martabat Kemanusiaan
Universalitas kemanusiaan adalah ajaran sentral dalam Islam, yang digali dari Alquran dan Hadits Nabi Muhammad SAW. islam memandang manusia memiliki kedudukan yang sama dalam asal usulnya. Manusia dihormati karena memiliki kelebihan, martabat, dan kemuliaan dalam proses penciptaannya. Manusia memiliki potensi pengetahuan dan moral. Semua manusia dibekali pengetahuan dari Tuhan, dan Alquran menunjukkan jalan kepada manusia agar mengingat asal ushul mereka dalam hubungannya dengan Tuhan. Manusia adalah khalifah Tuhan di bumi sebagaimana disebutkan Allah:



وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُواْ أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاء وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُونَ ﴿٣٠﴾
Artinya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".
      4.      Prinsip Kesamaan (Equality)
Islam mengajarkan bahwa penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan singkat, bila diletakkan pada paradigma bahwa manusia berada dalam satu kesatuan, seperti satu keluarga yang memperlakukan sama setiap anggota keluarga. Ini adalah suatu ajaran bahwa asal usul manusia adalah sama.
Islam tidak memandang kemuliaan dan keistimewaan seseorang pada ras, etnis, atau kata suku, tetapi Islam memiliki dua kriteria yang membuat orang memiliki kemuliaan yaitu keimanan dan amal sholeh.
      5.      Melindungi Kehidupan Manusia
Islam mengajarkan bahwa kehidupan manusia adalah bernilai yang mesti dijaga dan dilindungi. Seluruh sumber daya mesti digunakan untuk melindungi kehidupan manusia dan mencegah kekerasan. Alquran menegaskan dalam surat Al-Maidah ayat 32, surat Al-Isra’ ayat 33, dan surat Al-Anbiya’ ayat 16:
مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ كَتَبْنَا عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنَّهُ مَن قَتَلَ نَفْساً بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعاً وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعاً وَلَقَدْ جَاءتْهُمْ رُسُلُنَا بِالبَيِّنَاتِ ثُمَّ إِنَّ كَثِيراً مِّنْهُم بَعْدَ ذَلِكَ فِي الأَرْضِ لَمُسْرِفُونَ ﴿٣٢﴾
Artinya:Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi.
وَلاَ تَقْتُلُواْ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللّهُ إِلاَّ بِالحَقِّ وَمَن قُتِلَ مَظْلُوماً فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَاناً فَلاَ يُسْرِف فِّي الْقَتْلِ إِنَّهُ كَانَ مَنْصُوراً ﴿٣٣﴾
Artinya: Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.
وَمَا خَلَقْنَا السَّمَاء وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا لَاعِبِينَ ﴿١٦﴾
Artinya: Maka tatkala mereka merasakan azab Kami, tiba-tiba mereka melarikan diri dari negerinya.

      6.      Perwujudan Damai
Pada umunya, komunikasi merupakan hal penting dalam penyelesaian sengketa. Komunikasi secara langsung antara para pihak akan lebih produktif menyelesaikan sengketa, sehingga dapat menghindari kekerasandan merendahkan biaya. Pihak ketiga merupakan bagian integral dalam intervensi membangun damai dengan memfasilitasi komunikasi, menghindari tensi, dan membantu memperbaiki hubungan seilaturahmi. Islam mendorong intervensi aktif, khususnya diantara sesama muslim.
Allah berfirman dalam surat Al-Hujurat ayat 9-10:
وَإِن طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِن بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِن فَاءتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ ﴿٩﴾ إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ ﴿١٠﴾
Artinya: Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mu'min berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.
Artinya: Sesungguhnya orang-orang mu'min adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.
      7.      Pengetahuan dan Kekuatan Logika
Kemampuan akal dan rasionalitas memiliki peran menentukan bagi sukses tidaknya dialog penyelesaian konflik. Dalam resolusi konflik, pendekatan rasional akan mempercepat, lahirnya kesepakatan damai, sehingga dapat menghindari timbulnya kekerasan. Akal dan kebijaksanaan (hikmah) merupakan dua nilai kebajikan dalam Islam, yang serig diulang penyebutannya dalam Alquran dan Hadits.
Allah berfirman dalam surat An-Nahl ayat 125:
ادْعُ إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ ﴿١٢٥﴾
Artinya: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.
      8.      Kreatif dan Inovatif
Strategi non-kekerasan mendorong kreativitas dan inovasi dalam penyelesaian konflik. Kreativitas dan inovasi dapat melahirkan pilihan-pilihan baru yang membantu mencapai kompromi dengan rasa keadilan. Inovasi dapat lahir dari suatu proses berfikir yang dikenal dengan ijtihad. Ijtihad bukan hanya milik ulama, tetapi juga milik setiap muslim yang memiliki kemampuan menyelesaikan konflik di kalangan mereka.

      9.      Saling Memaafkan
Memberi maaf adalah perbuatan yang sangat dihargai dalam Islam, karena maaf dapat menyadarkan orang akan kekeliruannya.
Allah berfirman dalam surat Asy-Syura’ ayat 40:
وَجَزَاء سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِّثْلُهَا فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ ﴿٤٠﴾
Artinya: Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barangsiapa mema`afkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.
      10.  Tindakan Nyata
Dalam Islam tindakan nyata berupa amal baik sangat dihargai, karena mengungkapkan saja tanpa melaksanakan tidak cukup. Tuhan memberikan kasih sayang kepada orang yang beriman dan berbuat baik.
Allah berfirman dalam surat Maryam ayat 96, dan surat Al-Isra’ ayat 7
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَيَجْعَلُ لَهُمُ الرَّحْمَنُ وُدّاً ﴿٩٦﴾
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang.

إِنْ أَحْسَنتُمْ أَحْسَنتُمْ لِأَنفُسِكُمْ وَإِنْ أَسَأْتُمْ فَلَهَا فَإِذَا جَاء وَعْدُ الآخِرَةِ لِيَسُوؤُواْ وُجُوهَكُمْ وَلِيَدْخُلُواْ الْمَسْجِدَ كَمَا دَخَلُوهُ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَلِيُتَبِّرُواْ مَا عَلَوْاْ تَتْبِيراً ﴿٧﴾
Artinya: Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat maka kejahatan itu bagi dirimu sendiri, dan apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) yang kedua, (Kami datangkan orang-orang lain) untuk menyuramkan muka-muka kamu dan mereka masuk ke dalam mesjid, sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada kali pertama dan untuk membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai.

      11.  Pelibatan Melalui Tanggung Jawab Individu
Pilihan moral dan keyakinan rasional merupakan prinsip Islam, karena setiap orang bertanggung jawab terhadap segala tindakannya. Bahkan Nabi Muhammad SAW sendiri tidak akan bertanggung jawab terhadap keputusan yang dibuat oleh orang lain.
Allah berfirman dalam surat At-Taubah ayat 129:
فَإِن تَوَلَّوْاْ فَقُلْ حَسْبِيَ اللّهُ لا إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ ﴿١٢٩﴾
Artinya: Jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah: "Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan Dia adalah Tuhan yang memiliki `Arsy yang agung".
      12.  Sikap Sabar
Muslim didorong untuk bersikap sabar dengan menangguhkan atau menunda pendapat mereka dari yang lain, baik kepada orang muslim maupun sesama non muslim. Sabar adalah suatu kebaikan yang mesti dipertahankan orang Islam. Sabar ikut memelihara keyakinan kuat pada Tuhan. Kata sabar memiliki implikasi makna, antara lain: (1) sabar melakukan pekerjaan cermat, teliti, dan tidak terburu-buru; (2) sabar dari ketekunan, keteguhan hati, tabah dalam berusaha dalam mencapai tujuan; (3) sistematik dan tabah dalam menentang ketidakteraturan atau mengubah tindakan; dan (4) perilaku periang ketika mengalami penderitaan.[4]


      B.     Pola Mediasi Dalam Alquran
Keadilan dalam masyarakat akan tegak bila orang mendapatkan hak sesuai dengan ajaran Alquran dan Hadits Nabi Muhammad SAW. Sebaliknya, masyarakat akan hancur dan zalim bila keadilan tidak ditegakkan dan orang memperoleh hak, bukan berdasrkan ketentuan yang sah dan benar. Kezaliman, ketidakadilan dan perampasan hak, merupakan faktor dominan yang menyebabkan hancurnya suatu masyarakat. Oleh karena itu, Alquran mengajak setiap muslim untuk menegakkan keadilan. Keadilan adalah ajaran dasar dalam Islam, dan kehadiran Nabi Muhammad SAW membawa misi menegakkan keadilan. Alquran mengajarkan bahwa menegakkan keadilan merupakan perintah Allah, dan harus dilakukan oleh setiap muslim, karena ia lebih dekat kepada taqwa. Sebaliknya, orang yang tidak menagakkan keadilan dan menyia-nyiakan hak orang lain akan mendapatkan siksa dari Allah.
Alquran dan Hadits Nabi Muhammad SAW menawarkan proses penyelesaian sengketa di pengadilan melalui dua cara, yaitu pembuktian fakta hukum (adjudikasi), dan penyelesaian melalui perdamaian (islah).
Penyelesaian sengketa melalui proses pembuktian fakta hukum (adjudikasi) dilakukan dengan pengajuan sejumlah alat bukti oleh para pihak dalam menuntut atau mempertahankan haknya dihadapan pengadilan.[5]
Dalam konteks ini Nabi Muhammad SAW menyatakan: “alat bukti dibebankan kepada penggugat, sedangkan sumpah kepada pihak yang mengingkari.” Pengajuan alat-alat bukti ini dimaksudkan untuk membuktikan siapa yang berhak dan berwenang terhadap sesuatu dan siapa yang tidak berwenang atau tidak berhak terhadap sesuatu. Melalui akan terungkap dengan jelas duduk perkara dan pihak mana yang mendapat hak sesuai dengan hukum Allah. Bukti adalah standar ukur (norma) bagi hakim dalam memutuskan perkara.[6]
Proses penyelesaian sengketa melalui adjudikasi ternyata tidak mampu menyelami hakikat fakta sebenarnya dari persengketaan para pihak, karena hakim hanya mampu memahami dan memutuskan perkara sebatas alat bukti kuat yang diajukan kepadanya. Atas dasar keyakinan hakim dan bukti-bukti yang ada, maka ia merumuskan hukum tersebut, padahal hakikatnya yang paling tahu adalah para pihak yang bersengketa.
Kenyataan ini disebutkan oleh Nabi Muhammad SAW: “Sesungguhnya aku seorang manusia dan kamu datang mengadu pertikaian kamu kepada ku. Boleh jadi diantara kamu ada yang lebih pantas/pintar menguraikan hujah daripada yang lain, maka aku memutuskan hukuman sebagaimana yang aku dengar dari keterangan yang kamu berikan. Maka siapa saja yang aku hukum baginya sesuatu dari hak (orang lain), maka janganlah ia mengambilnya karena sesungguhnya aku memberikan kepadanya sepotong api neraka.

Hadits Nabi Muhammad SAW ini mengindikasikan dua hal, pertama, hakim menyelesaikan sengketa berdasarkan apa yang didengar, dilihat dan ia ketahui dari alat bukti yang diajukan ke pengadilan. Boleh jadi pihak yang pintar dan pandai berhujah, telah meyakinkan hakim untuk memberikan hak kepadanya, walaupun hakikatnya ia tidak berhak. Kedua, alat bukti tidak menjamin seluruhnya mampu mengungkap fakta-fakta hukum, karena dalam proses pengadilan terdapat pula alat-alat bukti palsu yang diajukan oleh para pihak yang bersengketa. Proses penyelesaian sengketa melalui adjudikasi tidak dapat menjamin kepuasan para pihak yang bersengketa, karena ada pihak yang memiliki keterbatasan dalam pengajuan alat bukti. Oleh karenanya, sejumlah ayat Alquran menawarkan proses penyelesaian sengketa melalui perdamaian (islah-sulh). di hadapan Mahkamah.
Keberadaan sulh sebagai upaya damai dalam penyelesaian sengketa telah diterangkan dalam Alquran dan Hadits Rasulullah SAW:
Allah berfirman dalam surat An-Nisa’ ayat 114 dan ayat 128:
لاَّ خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِّن نَّجْوَاهُمْ إِلاَّ مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلاَحٍ بَيْنَ النَّاسِ وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ ابْتَغَاء مَرْضَاتِ اللّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْراً عَظِيماً ﴿١١٤﴾
Artinya: Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma`ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keredhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.

وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِن بَعْلِهَا نُشُوزاً أَوْ إِعْرَاضاً فَلاَ جُنَاْحَ عَلَيْهِمَا أَن يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحاً وَالصُّلْحُ خَيْرٌ وَأُحْضِرَتِ الأَنفُسُ الشُّحَّ وَإِن تُحْسِنُواْ وَتَتَّقُواْ فَإِنَّ اللّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيراً ﴿١٢٨﴾
Artinya: Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir, Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Hal senada juga dijelaskan Nabi Muhammad SAW: Sulh adalah sesuatu yang harus ada di antara kaum muslimin, kecuali suatu perdamaian yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal, dan kaum muslimin terikat dengan janji mereka, kecuali janji yang mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram (At-Tirmizi).[7]

      C.    Praktik Mediasi Rasulullah SAW
Pembahasan pada subbab ini dipusatkan pada praktik mediasi yang pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW., baik sebelum ia mejadi Rasul maupun sesudah menjadi Rasul.  Proses penyelesaian konflik (sengketa) dapat ditemukan dalam peristiwa peletakan kembali Hajar Aswad (batu hitam pada sisi Ka’bah) dan Perjanjian Hudaibiyah. Kedua peristiwa ini dikenal baik oleh kaum muslimin di seluruh dunia, karena itu diterima secara umum. Peletakan kembali Hajar Aswad dan Perjanjian Hudaibiyah memiliki nilai dan strategi resolusi konflik (sengketa) terutama mediasi dan negosiasi, sehingga kedua peristiwa ini memiliki perspektif yang sama yaitu mewujudkan perdamaian.[8]

      D.    Mediasi Dalam Sengketa Keluarga
Didalam Islam, Alquran mengharuskan adanya proses peradilan maupun nonperadilan dalam penyelesaian sengketa keluarga, baik untuk kasus syiqaq maupun nusyuz.[9] Syiqaq adalah percekcokan atau perselisihan yang meruncing anntara suami istri yang diselesaikan oleh dua orang juru damai (hakam). Nusyuz adalah tindakan istri yang tidak \patuh kepada suaminya atau suami yang tidak menjalankan hak dan kewajibannya terhadap istri dan rumah tangganya, baik yang bersifat lahir maupun bathin. Alquran menawarkan pola mediasi tersendiri terhadap penyelesaian sengketa keluarga terutama syiqaq.
Syiqaq merupakan perselisihan yang berawal dan terjadi pada kedua belah pihak suami dan isteri secara bersama-sama. Dengan demikian, syiqaq berbeda dengan nusyuz, yang perselisihannya hanya berawal dan terjadi pada salah satupihak, suami atau istri. Untuk mengatasi kerumut rumah tangga yang meruncing antara suami dan istri, Islam memerintahkan agar kedua belah pihak mengutus dua orang hakam (juru damai). Pengutusan hakam bermaksud untuk berusaha mencari jalan keluar tehadap kemelut rumah tangga yang dihadapi oleh suami-istri. Proses penyelesain sengketa melalui pihak ketiga yang dikenal dengan hakam didasarkan pada Alquran surat An-Nisa’ ayat 35:
وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُواْ حَكَماً مِّنْ أَهْلِهِ وَحَكَماً مِّنْ أَهْلِهَا إِن يُرِيدَا إِصْلاَحاً يُوَفِّقِ اللّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلِيماً خَبِيراً ﴿٣٥﴾
Artinya: Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.

      E.     Mediasi dalam Sengketa Waris
Abdul Rahim dalam bukunya The Principles of Muhammadan Jurisprudence, menyebutkan bahwa penyebab utama terjadinya sengketa waris adalah situasi di mana ahli waris tidak secara cepat menyelesaikan masalah harta warisan setelah pewaris meninggal dunia. Situasi yang berlarut-larut telah menyebabkan pihak-pihak yang menguasai harta atau mendominasi pemanfaatan harta warisan, dapat melakukan tindakan tasharruf (jual beli, hibah, sewa, gadai, dan lain-lain) terhadap harta warisan. Tindakan sepihak oleh salah satu ahli waris tanpa ada persetujuan ahli waris lain  telah menyebabkan munculnya sengketa waris. Oleh karenanya, Islam menganjurkan setelah seseorang meninggal dunia, maka segeralah menyelesaikan persoalan pembagian harta warisan, karena harta yang ditinggalkan si mayit dapat menjadi penyebab konflik dalam keluarga, bila tidak diselesaikan dengan baik.
Anjuran Islam untuk mempercepat penyelesaian dan pembagian harta warisan, bukan berarti para ahli waris secar serta merta membagi harta tersebut berdasarkan ketentuan furudh al-muqaddarah, tetapi yang diinginkan Islam adalah penyelesaian dan kejelasan hak masing-masing ahli waris terhadap harta warisan. Jelasnya hak masing-masing ahli waris dapat mempermudah ahli waris untuk menyelesaikan pembagian harta warisan, baik mengikuti ketentuan furudh al-muqaddarah atau alternatif lain berupa kesepakatan damai ahli waris. Pembagian warisan dapat saja mengikuti ketentuan furudh al-muqaddarah atau bahkan membuat kesepakatan lain di luar ketentuan furudh al-muqaddarah (bagian-bagian tertentu ahli waris yang telah ditetapkan Alquran).

      F.     Mediasi dalam Sengketa Muamalah
Dalam hukum Islam, upaya perdamaian yang dilakukan oleh para pihak untuk menyelesaikan sengketa muamalah dikenal dengan sulh. Sulh sebagai sarana pewujudan perdamaian dapat diupaya oleh pihak yang bersengketa atau dari pihak ketiga yang berusaha membantu para pihak menyelesaikan sengketa mereka. Keterlibatan pihak ketiga dapat bertindak sebagai madiator atau fasilitator dalam proses sulh. Penerapan sulh dalam hukum Islam, sebenarnya sangat luas, tidak hanya digunakan untuk menyelesaikan sengketa yang berkait dengan harta (muamalah), tetapi dapat juga digunakan unruk menyelesaikan sengketa keluarga dan politik.

      G.    Mediasi dalam Konflik Politik
Dalam sejarah politik Islam, perbedaan pandangan politik dapat diselesaikan melalui jalur mediasi, negosiasi atau arbitrase (tahkim), tetapi kadang-kadang juga bada yang berakhir dengan pergerakan senjata.
Mediasi dalam upaya penyelesaian sengketa politik mendapat landasan dalam Alquran suarat Al-Hujurat ayat 9:
وَإِن طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِن بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِن فَاءتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ ﴿٩﴾
Artinya: Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mu'min berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Mohammed Abu Nimer merumuskan 12 prinsip penyelesaian sengketa (konflik) yang dibangun Alquran dan dipraktikkan Nabi Muhammad.
  1.      Perwujudan Keadilan
  2.      Pemberdayaan Sosial
  3.      Universalitas dan Martabat Kemanusiaan
  4.      Prinsip Kesamaan (Equality)
  5.      Melindungi Kehidupan Manusia
  6.      Perwujudan Damai
  7.      Pengetahuan dan Kekuatan Logika
  8.      Kreatif dan Inovatif
  9.      Saling Memaafkan
  10.  Tindakan Nyata
  11.  Pelibatan Melalui Tanggung Jawab Individu
  12.  Sikap Sabar
Alquran dan Hadits Nabi Muhammad SAW menawarkan proses penyelesaian sengketa di pengadilan melalui dua cara, yaitu pembuktian fakta hukum (adjudikasi), dan penyelesaian melalui perdamaian (islah).
Praktik mediasi yang pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW., baik sebelum ia mejadi Rasul maupun sesudah menjadi Rasul.  Proses penyelesaian konflik (sengketa) dapat ditemukan dalam peristiwa peletakan kembali Hajar Aswad (batu hitam pada sisi Ka’bah) dan Perjanjian Hudaibiyah.
Untuk mengatasi kerumut rumah tangga yang meruncing antara suami dan istri, Islam memerintahkan agar kedua belah pihak mengutus dua orang hakam (juru damai).
Anjuran Islam untuk mempercepat penyelesaian dan pembagian harta warisan, bukan berarti para ahli waris secar serta merta membagi harta tersebut berdasarkan ketentuan furudh al-muqaddarah, tetapi yang diinginkan Islam adalah penyelesaian dan kejelasan hak masing-masing ahli waris terhadap harta warisan.
Dalam hukum Islam, upaya perdamaian yang dilakukan oleh para pihak untuk menyelesaikan sengketa muamalah dikenal dengan sulh.
Dalam sejarah politik Islam, perbedaan pandangan politik dapat diselesaikan melalui jalur mediasi, negosiasi atau arbitrase (tahkim), tetapi kadang-kadang juga bada yang berakhir dengan pergerakan senjata.









[1] Kalamullah adalah pernyataan Allah SWT. yang berisi kehendak-Nya dan dilafalkan dalam bahasa Arab. Kalamullah ini bersifat suci yang mana kehendak dan bahasa yang disampaikan Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. dalam makna dan bahasa yang diterimanya dari Allah SWT.. Dari sisi bahasa dan makna, kalamullah ini murni dari Allah SWT. dan tidak ada intervensi dan modifikasi dari Jibril maupun Nabi Muhammad SAW..
[2] Abdul Aziz Said, Nathan C. Funk and Ayse S. Kadayifci, “ Islamic Approaches to Peace Conflict Resolution, dalam Abdul Aziz Said, Nathan C. and Ayse S. Kadayifci, Peace and Conflict Resolution in Islam, (New York: University Press of America, 2007), hlm. 6.
[3] Mohammed Abu Nimer, Op. cit., hlm. 48-80.
[4] Badullah Ali Yusuf, The Meaning of the Holy Qur’an, (Brentwood: Amana Corporation, 1991), hlm. 179.
[5] Abdul Rahim, Op. cit., hlm. 366-367.
[6] Ibid., hlm. 368.
[7] Syeikh al-Imam Muhammad bin Ismail al-Kahlani, Op. cit., hlm. 59.
[8] Hamadi Redissi dan Jan-Erik Lane, “Does Islam Provide a Theory of Violence”, dalam Amelie Blom, Laetitia Bucaille dan Luiz Martinez, The Enuigma of Islamist Violence, (New York: Columbia University Press, 2007), hlm. 48.
[9] Muhammad Mustafa Tsalaby, Op. cit., hlm. 371-372.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar